Pusat Info Properti
Selasa, 22 Mei 2012
Sabtu, 19 Mei 2012
Syekh Nawawi al-Bantani
Riwayat Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan
Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara,
Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314
H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau
dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri
Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten,
Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at
terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati
jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayah beliau bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Syekh
Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra
Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul
‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As-
Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina
Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi mendapat kesempatan untuk pergi ke
Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk
belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh.
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah beliau kembali ke daerahnya tahun
1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk
membantu ayah beliau mengajar para santri.
Syekh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya
langsung mendapat simpati dari masyarakat. Kedatangannya membuat
pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang
datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau
memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impian beliau untuk
mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah Syekh Nawawi melanjutkan belajar pada guru-guru yang terkenal, pertama kali beliau mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, Syekh Nawawi belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali.
Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di
Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Syekh
Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah
satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan
kampung halamannya beliau menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama
30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syekh Nawawi mulai mengajar di
lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena
dengan kedalaman pengetahuan agamanya, beliau tercatat sebagai Ulama di
sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena beliau harus banyak
menulis kitab.
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian kolegan beliau yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabat beliau yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karya Syekh Nawawi yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam.
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian kolegan beliau yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabat beliau yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karya Syekh Nawawi yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam.
Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain,
Syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya
yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan. Dalam
menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama
besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh
mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya
mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan
bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke
daerah Mesir dan Syiria.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang
mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Syekh Nawawi bahkan termasuk
dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena
kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn al-RaM’ ‘Asyar
Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan
Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Syekh Nawawi kesulitan dalam
mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula
beliau sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantu
beliau. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa
pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus
menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung
pada Syekh, agar proses pembelajaran dengan Syekh tidak mengalami
kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika.
Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir
yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang beliau tulis
ini dapat dijadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang
menulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang
keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat
kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara
konprehenshif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Syekh Nawawi mengaku sebagai
penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang
banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya:
- Fath ai-Majid
- Tijan al-Durari
- Nur al Dzulam
- al-Futuhat al-Madaniyah
- al-Tsumar al-Yaniah
- Bahjat al-Wasail
- Kasyifat as-Suja dan
- Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syekh Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah.
Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat
diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya.
Beliau membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan
mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah
dan mustahil tidak adanya, dan sifat mustahil adalah sifat yang pasti
tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah
sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun Syekh Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep
sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang
berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang
kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurut beliau harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban
seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan
terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari
aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi.
Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam
benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah
(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Syekh Nawawi
menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah
antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah,
sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau mengakui
Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep
jabariyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia itu
dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia
tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Untuk hal ini dalam konteks Indonesia, sebenamya Syekh Nawawi telah
berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang
teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep
absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya
sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai
sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme.
Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh
daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat
melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam
konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya
telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah
tawakkal kepada Allah.
Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan
Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak
peranan Syekh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang
terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni
Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya.
Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial
Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi
dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqh beliau seperti:
- Syarh Safinat a/-Naja,
- Syarh Sullam a/-Taufiq,
- Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan
- Tasyrih a/a Fathul Qarib
sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Dan
atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk
mengajar dan menulis beliau mendapat apresiasi luas dari berbagai
kalangan.
Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di
berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada
tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundang
beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah.
Mereka tertarik untuk mengundang karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal
melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Syekh Nawawi dengan aktivitas
intelektualnya mencerminkan beliau bersemangat menghidupkan disiplin
ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini beliau memiliki konsep yang identik
dengan tasawuf. Dari karyanya saja Syekh Nawawi menunjukkan diri beliau
seorang sufi brilian, beliau banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf
yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi.
Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu:
- Misbah al-Zulam,
- Qami’ al-Thugyan dan
- Salalim al Fudala.
Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali.
Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawuf beliau meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya
sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal
Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat. Namun atas pilihan karir
dan pengembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yg ditekuni serta
tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf
seperti guru-guru beliau.
Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangan beliau
terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat
erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini, Syekh
Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya
dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan
kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan
tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi,
sementara hakikat dan ma’rifat adalah hasil dari syariat dan tarikat.
Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak
praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan
hal-hal yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Paparan konsep
tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap
pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang beliau gunakan
tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf
inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia
lainnya. Syekh Nawawi dapat dibedakan dari karakteristik tipologi
tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam
menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan
tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi
pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan
tasawuf. Beliau lebih Ghazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Syekh
Nawawi bagai seorang sosok al-Ghazali di era modern. Beliau lihai dalam
mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat
dilihat dari pandangan beliau tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam
batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum
(berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim
sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan
musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.
Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak
mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia
spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika
(Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan
berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha
menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus
ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Syekh Nawawi adalah
sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika beliau diminta
fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek
tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang
disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini
bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek
tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak
pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Syekh Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman.
Sebab Syekh Nawawi tahu bahwa di satu sisi beliau memahami
kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi
lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang
dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan
penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap
kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya
seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber
referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu
bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya
perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim
Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang
telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w.
1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya
al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang
telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan
dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga
pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi
diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan
Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi
Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di
Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.
Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam,
Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi
sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di
Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah
meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42
yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang
mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian
pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih
dipelajari di sana.
Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang
banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di
antaranya adalah karya Syekh Nawawi.
Penyebaran karya Syekh Nawawi tidak lepas dari peran murid-murid
beliau. Di Indonesia murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh-tokoh
nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam
juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat
dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran
modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan
munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat
soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah
sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat
di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan
kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama
jaringan intelektual pesantren.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya.
Karyakarya Syekh Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak
lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Syekh
Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam
memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam
merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap
pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk
memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali
meninggalkan karya ulama Salaf.
Meskipun beliau senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang
reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya
Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik beliau tidak mau mengajarkannya
pada santri dan lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid
Syekh Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya, Syekh Kholil Bangkalan
dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam
penyebaran karya Nawawi.
Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten
dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui
tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, Syekh Ageng menjadi tokoh sentral
di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi
pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat
penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi
utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai
kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah)
di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.
Peranan Syekh, para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan
karya Syekh Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren
merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para
Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam
mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran
Syekh Nawawi.
Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa Syekh Nawawi
banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren
yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain
mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab
kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat
heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara
gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain.
Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam
melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat
al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf
yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung
rasionalistik di sisi lain.[]
Sumber Tulisan:www.al-hasani.com
www.tris.co.nr 10
http://serambitashawwuf.blogsome.com/2009/08/06/syekh-nawawi-al-bantani/
Langganan:
Postingan (Atom)