Rabu, 13 Juni 2012

Riwayat Datu Abdul Hamid Abulung

 

Menyebut nama Syekh Abdul Hamid atau sering kita sebut Datu Abulung...pasti dibenak kita terkenang akan seorang ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham wihdatul wujudnya,sepak terjang beliau memang tak banyak yang mengetahui karna beliau tidak ada meninggalkan kitab karangan seperti ulama ulama lainnya,keilmuan beliau cuma dapat kita ketahui secara lisan dari mulut kemulut atau dari pewaris para murid beliau,banyak pendapat yang berbeda tentang kisah beliau ada yang menyatakan bahwa ilmu beliau salah atau manyalah (bahasa banjar) tapi sebagian masyarakat banjar bahkan hampir seluruhnya menyatakan bahwa datu abulung ini adalah seorang wali Allah,terlepas dari segala kontropersi yang ada riwayat beliau sangat dicari oleh sebagian masyarakat banjar.
Dalam sejarah pemikiran keagamaan dikalimantan pada abad ke 18 setidaknya ada tiga tokoh ternama dikerajaan banjar selain Datu Suban dan para muridnya yang sakti mandraguna,pada masa itu para ulama banjar memang sangat terkenal dengan segala karamah dan kesaktiannya,diantara tiga orang tokoh ternama dan terkenal tersebut adalah

1.Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau Datu Kalampayan
2.Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari atau Datu Nafis
3.Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu abulung


Dan sosok Datu Abulung inilah yang penuh misteri hingga saat ini,pada masa itu pemerintahan kerajaan diperintah oleh sultan Tahlilullah, saat itu lah Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan Syekh Abdul Hamid muda diberangkatkan oleh kerajaan banjar untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan dengan harapan nantinya bisa membawa sinar terang bagi kerajaan banjar,mereka diberangkatkan keTanah Suci Makkah Al-Mukarramah,tercatat Datu Kalampayan belajar kepada beberapa orang guru (baca riwayat Datu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari),sedangkan Datu abulung juga belajar kepada beberapa orang guru yang sayangnya tidak tercatat karena tidak adanya karangan beliau yang biasanya merujuk kepada guru guru pengarang,sepulangnya dari menuntut ilmu ditanah suci Datu Syekh Abdul Hamid mulai mengajarkan ilmu yang didapatnya dari guru gurunya di Mekkah kepada masyarakat sekitarnya,diantara yang beliau ajarkan adalah ilmu Tasawuf,namun ilmu tasawuf yang beliau ajarkan kepada orang awam ini sangat berlainan dengan pelajaran tasawuf yang selama ini dikenal masyarakat,Datu Abulung mengajarkan bahwa;

                                      Tiada yang maujud hanya Dia
                                            Tiada maujud lain-Nya
                                          Tiada aku melainkan Dia
                                                Dia adalah aku
                                                aku adalah Dia


Dalam pelajaran Syekh Abdul Hamid Abulung juga diajarkan bahwa Syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit belum sampai kepada isi (hakikat),sedangkan pelajaran yang selama ini diyakini masyarakat umum yaitu Tiada yang berhak dan patut disembah selain Allah ,Allah adalah Khalik dan selainnya adalah makhluk,tiada sekutu bagi-Nya,ajaran Datu Abulung ini kurang lebih seperti ajaran Abu Yazid Al-Bustami,husein bin Mansyur Al-Hallaj yang kemudian memasuki Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syamsuddin disumatera dan Syekh Siti Jenar di pulau Jawa.
Mendengar fatwa Datu Abulung yang berbeda dari kebanyakan paham masyarakat pada waktu itu,maka gemparlah masyarakat yang menerima ajaran tersebut,bahkan ajaran yang beliau sampaikan menjadi pembicaraan masyarakat umum yang mana akhirnya samapi ketelinga Sultan,sebelum Datu Abulung dipanggil sultan terlebih dahulu  minta pendapat syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (satu riwayat mengatakan tanpa diketahui Syekh Muhammad Arsyad) tentang ajaran Datu abulung tersebut.setelah menelaah beberapa kitab kemudian diambil kesimpulan bahwa ajaran yang dibawa Datu Abulung yang diajarkan kepada orang awam tersebut bisa menyesatkan masyarakat dan bisa merusak kehidupan beragama,adalah kewajiban Ulama dan Umara melindungi keagamaan rakyatnya dari unsur unsur yang membahayakan,jika tidak dapat dengan jalan damai maka lebih baik menyingkirkan nya , Menolak mafsadah (keburukan)lebih didahulukan dari pada mengambil manfaat.Melenyapkan seseorang untuk menyelamatkan orang banyak dibolehkan menurut hukum malah terkadang wajib (Zafri Zam Zam,Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari,1979,hal 13)berdasarkan keputusan tersebut maka dipanggillah Datu abulung,salah seorang prajurit kerajaan disuruh untuk mendatangi Datu Abulung setelah sampai ditempat Datu Abulung lalu dipanggillah beliau,satu riwayat menceritakan pemanggilan tersebut,prajurit itu berkata Hai Syekh Abdul Hamid ..anda dipanggil baginda Sultan ,kemudian dijawab oleh Datu Abulung "Syekh Abdul Hamid tidak ada yang ada hanya Allah...mendengar hal tersebut prajurit tersebut dan mengadukan kepada sultan,kemudian sultan menyuruh kembali dan memanggil "Allah "tersebut,setelah sampai ditempat Datu Abulung prajurit itu kembali berkata "hai Allah anda dipanggil baginda Sultan"yang kemudian dijawab kembali oleh Datu Abulung "Allah tidak ada yang ada hanya Nur Muhammad"  mendengar hal itu prajurit kemali kekerajaan dan mengatakan hal tersebut kepada Baginda Sultan..kemudian sultan berkata panggil ketiganya Syekh Abdul Hamid,Allah dan Nur Muhammad ,barulah setelah prajurit tersebut memanggil seperti dipesankan sultan barulah Datu Abulung berkunjung keistana,ditengah perjalanan menuju istana dipasanglah perangkap yang apabila terpijak maka melesatlah sebilah tombak tajam yang akan menghujam ketubuh orang yang menginjaknya,saat itu terbukti kebenaran ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung,ketika beliau menginjak perangkap tersebut tombak tajam itu memang melesat dengan cepatnya diudara dan berhenti tepat dibelakang Datu Abulung dan jatuh ketanah tanpa beliau mengetahuinya,setelah sampai diistana dan terjadi tanya jawab,sultan ingin bukti kebenaran ajaran Datu Abulung,kemudian beliau berucap'Ashadu alla ilahaillallah' tiba tiba tubuh beliau menghilang,kemudian terdengar lagi suara "wa ashadu anna muhammadarrasulullah''  timbullah kembali badan beliau,semua orang kagum melihat hal tersebut,tapi dengan menimbang untuk keselamatan orang awam yang lebih banyak maka dihukumlah Syekh Abdul Hamid Abulung dengan didimasukkan kedalam kerangkeng yang ukurannya hanya muat tubuh beliau dan hanya cukup untuk berdiri,dengan kurungan seperti itu akhirnya beliau ditenggelamkan disungai lok buntar,maka akhirnya tenggelamlah sampai kedasar sungai.
Tanpa diketahui oleh semua orang suatu keanehan terjadi apabila tiba waktu sholat fardhu maka kerangkeng tersebut akan timbul dari permukaan sungai,dan beliau kemudian keluar dari kerangkeng tersebut dan melakukan sholat,setelah selesai sholat maka secara perlahan kerangkeng tersebut tenggelam kembali kedasar sungai,pada suatu malam menjelang subuh sepuluh orang pencari ikan yang sampai pada sekitar tenggelamnya Syekh Abdul Hamid lamat lamat mereka mendengar suara azan,perlahan lahan mereka mendekati sumber suara azan tersebut dari kejauhan mereka melihat keganjilan dan keanehan Datu Abulung tersebut,sejak saat itu mereka mengangkat beliau menjadi guru mereka,dari beliau mereka belajar berbagai ilmu agama islam,karena jumlah mereka sepuluh maka dinamakan orang sepuluh atau sekarang orang menyebutnya Datu Sepuluh,setelah selesai belajar orang sepuluh ini menjadi pegawai kerajaan
Setelah direndam dalam air Datu Abulung tidak juga mati dan akhirnya diketahui kerajaan maka akhirnya Datu Abulung kembali dibawa kekerajaan,dihadapan sultan akhirnya Datu abulung megatakan bahwa beliau tidak bisa dibinasakan dengan alat apapun kecuali dengan senjata yang ada didinding rumah beliau dan menancapkannya didalam daerah lingkaran yang beliau tunjukkan dibelikat beliau,setelah sholat dua rakaat ,senjata tersebut ditancapkan dibelikat beliau sudah ditandai tersebut maka memancarlah darah segar dari tempat itu dan anehnya darah tersebut membentuk kalimat  ''LAA ILAAHA ILLALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH"' innaa Lillaahi wa Innaa ILaihi Rajiuun.
setelah sekian lama kubur beliau akhirnya ditemukan oleh masyarakat atas petunjuk dari Alm.Tuan Guru H.Muhammad nor Tangkisung yang juga diyakini adalah seorang Kekasih Allah dan merupakan keturunan ke 5 dari Syeikh Abdul Hamid Abulung sendiri ,maqbarah beliau letaknya sebelah hilir dari Kampung Dalam Pagar,dan sekarang dipelihara makamnya oleh warga setempat,selain itu keanehan makam yang terletak dipinggir sungai itu berapa kali tergeros air sungai dan turun kebawah tp setelah itu makam itu naik dengan sendirinya dan tanah dibawahnya juga mengikuti makam tersebut....walllahu a'lam....

Kalau ada kekurangan dan kesalahan al faqir mohon maaf sebesar besarnya kepada saudara saudaraku semua,wabillahi taufik wal hidayah assalamualaikum warahmatullahi wabarakuh....(ditulis oleh fy )
oleh Kisah Para Datu dan Ulama Kalimantan pada 26 Februari 2011 pukul 18:13 ·


sumber:~Datu Datu Terkenal kalimantan
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
»»  Baca Selengkapnya...

Sabtu, 19 Mei 2012

Syekh Nawawi al-Bantani


                                                        Riwayat Hidup Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Ayah beliau bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Syekh Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana beliau memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah beliau kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayah beliau mengajar para santri.
Syekh Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat.  Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian beliau memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impian beliau untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah Syekh Nawawi melanjutkan belajar pada guru-guru yang terkenal, pertama kali beliau mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, Syekh Nawawi belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian beliau melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Syekh Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.

Setelah  memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya beliau menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Syekh Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, beliau tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena beliau harus banyak menulis kitab.
Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian kolegan beliau yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabat beliau yang berasal dari Jawa, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karya Syekh Nawawi yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami orang awam.
Alasan menulis syarh selain karena permintaan orang lain, Syekh Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan. Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria.
Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Syekh Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn al-RaM’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.
Kesibukannya dalam menulis membuat Syekh Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula beliau sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantu beliau. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada Syekh, agar proses pembelajaran dengan Syekh tidak mengalami kesulitan.

Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang beliau tulis ini dapat dijadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang menulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Syekh Nawawi mengaku  sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini diantaranya:
  • Fath ai-Majid
  • Tijan al-Durari
  • Nur al Dzulam
  • al-Futuhat al-Madaniyah
  • al-Tsumar al-Yaniah
  • Bahjat al-Wasail
  • Kasyifat as-Suja dan
  • Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Syekh Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Beliau membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan sifat mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah.
Meskipun Syekh Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurut beliau harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Syekh Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Beliau mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa.
Untuk hal ini dalam konteks Indonesia, sebenamya Syekh Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah. Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme.
Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa, teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenarnya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah.
Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Syekh Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqh beliau seperti:
  • Syarh Safinat a/-Naja,
  • Syarh Sullam a/-Taufiq,
  • Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan
  • Tasyrih a/a Fathul Qarib
sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna. Dan atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis beliau mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan.
Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundang karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.

Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf,  Syekh Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan beliau bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini beliau memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Syekh Nawawi menunjukkan diri beliau seorang sufi brilian, beliau banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi.
Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu:
  • Misbah al-Zulam,
  • Qami’ al-Thugyan dan
  • Salalim al Fudala.
Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat. Pandangan tasawuf beliau meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat.  Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu pengetahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru-guru beliau.
Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangan beliau terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini, Syekh Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat dan ma’rifat adalah hasil dari syariat dan tarikat.
Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran syariat Islam. Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-tema yang beliau gunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. Syekh Nawawi  dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Beliau lebih Ghazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.
Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Syekh Nawawi bagai seorang sosok al-Ghazali di era modern. Beliau lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangan beliau tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif.
Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).
Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Syekh Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika beliau diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Syekh Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Syekh Nawawi tahu bahwa di satu sisi beliau  memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.
Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keislaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.
Sebenarnya karya-karya Syekh Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional.
Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Syekh Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana.
Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Syekh Nawawi.
Penyebaran karya Syekh Nawawi tidak lepas dari peran murid-murid beliau. Di Indonesia murid-murid Syekh Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.
Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren.
Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya.
Karyakarya Syekh Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Syekh Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf.
Meskipun beliau senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik beliau tidak mau mengajarkannya pada santri dan lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Syekh Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya,  Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi.
Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, Syekh Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain.
Peranan Syekh, para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Syekh Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekh didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Syekh Nawawi.
Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa Syekh Nawawi banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain.
Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.[]
Sumber Tulisan:

www.al-hasani.com
www.tris.co.nr 10
http://serambitashawwuf.blogsome.com/2009/08/06/syekh-nawawi-al-bantani/
»»  Baca Selengkapnya...